Pages

Selasa, 27 Oktober 2009

Situs Sejarah Bawah Air Masih Terabaikan

PANGKAL PINANG, KOMPAS.com — Seorang peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, mengatakan, situs sejarah yang terkubur di bawah air masih terabaikan sehingga banyak yang dijarah.

"Banyak situs sejarah di bawah air yang terabaikan karena lemahnya pengawasan sehingga dijarah pencuri," katanya di Pangkal Pinang, Rabu (7/10).

Budi berada di Pangkal Pinang bersama 33 anggota tim Ekspedisi Sriwijaya dari Badan Arkeologi Palembang untuk melakukan penelitian benda sejarah di bawah air dengan melakukan penyelaman di Selat Bangka.

"Di kawasan perairan Babel banyak terkubur situs sejarah yang harus dilestarikan dan dikembangkan menjadi benda cagar budaya," ujarnya.

Pihaknya berupaya mengembangkan arkeologi bahari yang tersimpan di dasar laut Babel tersebut dengan melakukan penyelaman di Selat Bangka.


"Kami juga melakukan penelitian terhadap situs Kota Kapur yang berdasarkan penelitian sebelumnya memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya yang dikenal dengan kerajaan maritim," ujarnya.

Menurut dia, Kota Kapur merupakan titik penting dalam melakukan penelitian benda bersejarah di bawah air.

"Tim Ekspedisi Sriwijaya ini melakukan penelitian dengan mencari situs-situs peninggalan bersejarah di bawah air dan meneliti lebih jauh tentang Kota Kapur di Kabupaten Bangka tersebut," ujarnya.

Hasil penelitian tersebut, kata dia, disampaikan kepada pemerintah daerah dengan harapan ada tindak lanjut dalam pengembangan dan pelestarian benda cagar budaya di Babel.

"Kami mengharapkan pemerintah bisa menjaga benda bersejarah di bawah laut, jangan sampai dijarah sehingga mengakibatkan terjadinya kepunahan," katanya.

JY

Editor: jodhi

Sumber : Ant http://oase.kompas.com/read/xml/2009/10/08/1444307/situs.sejarah.bawah.air.masih.terabaikan

Puisi Erik Maringan Halomoan


Tentang Bunga Tulip

Sesaat aku berhenti di perkampungan sunyi

Karena pelangi yang dikelilingi awan gelap
Seakan ingin mengajakku,
Detak jam hanya berhenti sesaat
Aku kembali telusuri jalan yang berliku
Kembali ke suatu malam yang sepi
Mencapai sebuah jemu
Saat ini aku mengajakmu dengan sajak-sajak cinta
Berharap kau memupuk awan yang layu karena sepi
Di taman aku menggerogoti mimpiku
Menghadap sebuah bunga tulip yang lama berharap kupetik
Yang kemudian tenggelam dalam khayalku.

Desember, 2008

Aku Melihat Wajahmu di Antara Dedaunan

Aku melihat wajahmu di antara dedaunan
Dan ranting patah yang menghiasi mimpiku
Kau menanamkan mahabah ditaman yang sudah kutinggalkan
Tuk memilih jalan yang berliku
Mencari mestika diantara bebatuan
Yang sulit aku temukan

Januari, 2009

Puisi Faisal Syahreza

Mencintaimu lagi

Seperti untuk kesekian kali
Aku mencintaimu lagi
Bagai bebatuan di dasar
sungai nadimu
begitu deras rasa rindu
menghujaniku dengan puisi
dan merasa tak sempurna
bila aku
tak menyempatkan
berdoa untuk bola matamu
untuk setiap tatapannya
yang mampu melemparkanku
pada jurang dan ngarai asing
yang sulit dilacak

seperti untuk kesekian kalinya
aku selalu teguh
bersabar menyayangimu
seperti induk burung
mengajari anaknya terbang
dengan rasa kasih
paling dalam

Aku akan senang sekali
Bila suatu saat aku
Mencintaimu dan menyayangimu
Tanpa harus
Kau curiga
Aku mau apa-apa darimu
Sebagaimana
Bumi percaya
Bahwa langit
Tak akan menimpahinya
Dengan segala kesemestaannya.

Habis waktu

Bila sudah habis
Segala cintaku untukku
Aku akan gali oase
Dalam kalbuku
Hingga
Lahirlah
Mata air yang
Mampu membasahi
Rentang waktu yang kemarau
Karena kebencianmu
Padaku.
Begitu kerontang
Tatapanmu, bagai
Angin di gurun paling
Jauh di belahan dunia sahara.

Habis usia

Dan pada tanah
Aku mencoba menemukan
Bagian dari garis catatan tuhan
Sebagaimana aku
Adalah cakar
Mencari kebencian pada luka
Sebagaimana
Kuku tajam
Yang lupa
Pada keperihan
Ditorehkan waktu.

Habis hujan

Segalanya sirna
Tak ada lagi
Kemarau pada matamu
Yang tersisa
Adalah tubuhmu yang
Kuyup oleh peristiwa.
Aku ingin menjadi
Sesuatu yang basah
Oleh ciuman terakhirmu
Di penghujung
Waktunya.
Dan aku tak akan
Menghilang lagi
dari hadapanmu,
bila kau ingin
menikamku
dengan tangisanmu.


Di malam menyiram kembang

Di suatu malam aku terbangun
Seperti terganggu oleh
Suara letupan peluru
Yang meledak menembus
Kegelapan
Dan angin terasa
Hambar sekali
Saat itu,
Aku mulai
Asing di tengah legam malam
Tersudut di kesunyian

Aku tahu
Wajahmu lekat
Di ingatanku
Bagai musim
Panen di kebun kopi
Yang wanginya tak
Bisa kabur
Dan selalu tercium
Karena meruap di udara

Aku tak
Menganggapmu
Sebagai kembang kopi
Itu, karena bagiku
Engkau lebih
Serupa biji coklat
Yang dikulum di lidahku
Tak habis-habis
Lidahku
Melilit tubuhmu
Dan semakin terjebak
Aku untuk semakin
Mengusung namamu
Kemudian
Aku yakini
Bahwa memang
Malam itu aku
Terjebak di balai-balai
Rumahmu
Kau di sana cantik sekali
Menyirami berupa-warna
Kembang-kembangan.
Rumah puisiku

Bagiku
Mencintaimu
Lebih membuatku
Terasa menjadi lelaki rumahan
Karena aku
Semakin lapar, dan menghuni
Kamar dan balai
Semakin tahu
Bibir kering
Dan menglupas
Lupa kau cium ini
Adalah luka di ruang tamu

Dan aku semakin
Merasa punya tubuh yang
Kekar, di hadapanmu
Bila kau sedang telanjang, di ranjang
Dan dadamu menyambutku
Serupa pantai
Menyambut ombak

Dan akulah
Lautanmu,
Yang selalu
Berharap
Dilayari olehmu
Di badai
Yang entah kapan
Aku akan memperkosamu
Tenggelamkan
Dan kemudian kau hamil
Melahirkan anak-anakku
Puisi-puisku
Juga
Ribuan kesenyapan
Di mulut rahimmu
Begitu betah
Aku tinggali sebagai rumah terakhir.

Akulah anak dari sepi

Akulah anak dari sepi
Yang selalu menghitung
Gugur daun di halaman
Menengok ke luar jendela
Berharap seseorang pulang
Ke hatinya, sebagai kekasih

Aku serupa
Malaikat yang hinggap
Di atap rumah mengamati
Orang-orang mengaji
Kemudian terbang ke langit
Membawa pesan pada Tuhan

Aku kemudian
Merasa sendiri terbang
Dan menyelam
Di kedalaman
Lautan kepedihan.

Sajak cinta

Betapa tidak setiap harinya
Aku jatuh cinta padamu
Seperti halnya
Kutatap wajahmu yang dulu
Ketika pertama bertemu
Aku masih tetap seorang
Lelaki yang menyisir rindu
Sampai meluapkan
Puisi yang tak terwadahi
Dan menujum pada sirat rona
kecantikanmu

Aku selalu gagu
Mengucapkannya padamu
Mungkin karena aku
Selalu kehabisan kata-kata
Dan mulai lupa
Betapa aku
Selalu jatuh cinta
Seperti halnya
Kupu-kupu
Yang tak mau jauh dari
Bunga-bunga di pinggir tebing, tumbuh
Sulit dipetik sesiapapun.

2006 - 2008

Kompas.com, Jumat, 31 Oktober 2008

Biodata lengkap


Faisal syahreza, lahir di Cianjur, sedang merampungkan pendidikannya di UPI, Bahasa dan Sastra Indonesia. Puisinya tergabung di antologi sastra senja, SELALU ADA RINDU (2006, DKJ). Puisi dan cerpennya dimuat surat kabar daerah maupun nasional (Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Padang Ekspres, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Jurnal Sastra Lazuardi, Majalah Sastra Horison Dll) Kini bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) dan Sanggar Sastra Remaja Indonesia, Horison. Juga mengasuh komunitas penulis muda di Rumah Tumbuh.

Buku antologi puisi tunggalnya Gunung Padang, Selatan Kota (2008, FSC) dan Kumpulan Cerpennya Laut Puspita (2008, FSC) dan tergabung di Sastra Senja Dewan Kesenian Jakarta, SELALU ADA RINDU 2006. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Mengasuh Komunitass Penulis Muda di Rumah Tumbuh, dan anggota Dewan Kesenian Cianjur, dari Komite Sastra dan Forum Sastra Cianjur (FSC).